Baleg Mulai Bahas DIM RUU PPDT
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, hari ini (Rabu 20/6) mulai membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang tentang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (PPDT).
Pihak Pemerintah yang ditugaskan untuk membahas RUU tersebut adalah Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dan Menteri Hukum dan HAM.
Dalam Rapat Kerja yang dipimpin Ketua Badan Legislasi Ignatius Mulyono menyampaikan, sesuai dengan Rekapitulasi Daftar Inventarisasi Masalah yang telah disampaikan Pemerintah, terdapat 256 butir masalah yakni DIM yang bersifat tetap 65 butir, DIM yang diusulkan perubahan jumlahnya 20 butir, DIM yang diusulkan penambahan 6 butir dan DIM yang diusulkan dihapus sebanyak 165 butir. Jadi jumlah seluruhnya ada 256 DIM.
Mulyono mengatakan, sesuai mekanisme pembahasan RUU yang sudah disepakati pada Rapat Kerja tanggal 16 Februari lalu, masalah yang bersifat tetap (sebanyak 65 butir) langsung disetujui, sedangkan masalah yang diusulkan perubahan, penambahan dan diusulkan dihapus, pembahasan dilakukan dalam Rapat Kerja dan selanjutnya dibahas lebih mendalam di tingkat Panitia Kerja (Panja).
Dalam memberikan tanggapan terhadap usul penyempurnaan RUU PPDT, Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal A. Helmy Faishal Zaini mengatakan, Pemerintah berpendapat tidak diperlukannya revisi dan penyempurnaan DIM yang sudah disampaikan dalam Rapat Kerja sebelumnya.
Sejalan dengan proses penyusunan DIM RUU PPDT, Pemerintah berkomitmen untuk melakukan penajaman Kebijakan Affirmative Action dalam rangka percepatan pembangunan daerah tertinggal.
Selain itu, juga melakukan penajaman kebijakan pemihakan terhadap PPDT dalam bidang-bidang perencanaan, pembagian tugas dan kewenangan, serta pembiayaan.
Helmy mengatakan, beberapa substansi RUU PPDT yang dihapuskan dalam DIM Pemerintah dan diusulkan untuk disesuaikan lagi, menurutnya sudah tidak diperlukan lagi untuk diatur dalam UU PPDT.
Karena, katanya, telah termuat dalam UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, serta UU 19/2008 tentang Kementerian Negara, berikut peraturan pelaksanaannya.
Semua undang-undang dimaksud, kata Helmy, telah cukup kuat dan memadai sebagai dasar bagi pemerintah dalam melaksanakan berbagai kebijakan affirmative action untuk mempercepat pembangunan daerah tertinggal.
Selain itu, Pemerintah telah mengupayakan beberapa langkah kebijakan yang diarahkan untuk mempercepat pembangunan daerah tertinggal, baik dalam bidang perencanaan, pengaturan tugas dan wewenang, serta bidang pembiayaan pembangunan daerah tertinggal.
Dengan demikian, katanya, DIM RUU PPDT yang disampaikan Pemerintah pada dasarnya telah sejalan dengan Pandangan Pemerintah atas RUU PPDT sebagaimana telah disampaikan dalam Rapat Kerja dengan Badan Legislasi DPR RI pada Februari lalu.
Membahas masalah Judul RUU, Helmy mengatakan, jika Baleg DPR mengusulkan nama RUU tersebut Percepatan Pembangunan Daerah tertinggal, Pemerintah mengusulkan judul RUU tersebut Pembangunan Daerah Tertinggal.
Helmy mengatakan, RUU ini esensinya mengatur pembangunan daerah tertinggal sebagai sistem yang terpadu dan berlaku untuk jangka panjang. Pencatuman kata “percepatan” menurut Helmy, membatasi maksud dan tujuan dari pembentukan RUU ini.
Selain itu, kata percepatan mengandung makna yang bersifat instruktif dan dibatasi oleh waktu. Spirit percepatan sudah terkandung dalam norma-norma yang diatur dalam RUU ini. (tt)foto:wy/parle